Mengenai Saya

Foto saya
palopo, Makassar/sulsel, Indonesia
Biasa jie...

Jumat, 07 Januari 2011

Hari Ulang Tahun PGRI Ke-65

SELAMAT ULANG TAHUN PGRI-KE 65
Selamat Ulang Tahun “guruku”
“Memaknai Perjuangan ‘Guru’ secara esensial Dari Masa umar Bakri (pengabdian) hingga masa profesionalisme (tenaga kerja)”
Sejarah singkat lahirnya organisasi guru!
PGRI lahir pada 25 November 1945, setelah 100 hari proklamasi kemerdekaan Indonesia. Cikal bakal organisasi PGRI adalah diawali dengan nama Persatuan Guru Hindia Belanda (PGHB) tahun 1912, kemudian berubah nama menjadi Persatuan Guru Indonesia (PGI) tahun 1932.
Semangat kebangsaan Indonesia telah lama tumbuh di kalangan guru-guru bangsa Indonesia. Organisasi perjuangan huru-guru pribumi pada zaman Belanda berdiri tahun 1912 dengan nama Persatuan Guru Hindia Belanda (PGHB).
Organisasi ini bersifat unitaristik yang anggotanya terdiri dari para Guru Bantu, Guru Desa, Kepala Sekolah, dan Penilik Sekolah. Dengan latar belakang pendidikan yang berbeda-beda mereka umumnya bertugas di Sekolah Desa dan Sekolah Rakyat Angka Dua,pada generasinya guru lahir sebagai wujud pengabdian kepada pembangunan sumber daya manusia yang jauh dari ketertingalan,seiring dengan perjuagan rakyat Indonesia menuju puncak kemerdekaan.Semangat proklamasi 17 Agustus 1945 menjiwai penyelenggaraan Kongres Guru Indonesia pada tanggal 24 – 25 November 1945 di Surakarta. Melalaui kongres ini, segala organisasi dan kelompok guru yang didasarkan atas perbedaan tamatan, lingkungan pekerjaan, lingkungan daerah, politik, agama, dan suku, sepakat dihapuskan. Mereka adalah guru-guru yang aktif mengajar, pensiunan yang aktif berjuang, dan pegawai pendidikan Republik Indonesia yang baru dibentuk. Mereka bersatu untuk Negara Kesatuan Republik Indonesia. Di dalam kongres inilah, pada tanggal 25 November 1945 – seratus hari setelah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia – Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) didirikan.
Namun dalam tulisan ini kita akan meneropong sisi lain dari dunia ‘guru’ Terlepas dari existensi guru secara kelembagaan.Sebagaimana kita pahami bersama bahwa peningkatan sumber daya manusia merupakan rangkaian usaha untuk mewujudkan manusia seutuhnya sebagai insan yang sempurna dan akan mengarah kepada pembentukan masyarakat Indonesia dalam segala dimensi,salah satunya sebagai sumber daya pembangunan.Pembentukan manusia sebagai insan yang sempurna merupakan hal mendasar yang harus segera diselaikan karena sangat erat kaitannya dengan pembentukan karakter bangsa yang bermartabat,makmur,dan berkeadilan,dan harus dimulai dari pembentukan karakter individu,karena dalam diri tiap manusia tercermin sebuah nilai yang sifatnya fitrawi,seperti etika estetika dan logika,hal dasar ini melekat pada diri setiap insan sejak lahir dari kandungan hingga berpindah ke dimensi yang lain.untuk itu,pemahaman akan konsep pembangunan manusia seutuhnya atau ‘memanusiakan manusia’ tidak bisa kita batasi dari kelompok umur tertentu melainkan suatu rangkaian yang tanpa batas dan berlansung secara terus menerus sepanjang proses kehidupan manusia masih exist di muka bumi ini.untuk itu langkah pertama yang harus kita benahi adalah dunia pendidikan kita.
Mengapa harus dimulai dari dunia pendidikan? Sebuah pertanyaan awal yang akan membawa kita melihat realitas yang terjadi dinegeri kita,lebih ekstrim lagi bahwa semua akar permasalahan yang terjadi di negeri ini berawal dari carut marutnya dunia ‘pendidikan’.Mari kita mulai dengan melihat semua stakcholder yang bertanggungjawab terhadap mutu pendidikan.
Pertama: “GURU” ,
Ada apa dengan guru?,seberapa besar peran guru terhadap peningkatan mutu dan kualitas pendidikan kita?apakah hanya guru satu-satunya pihak yang bertanggungjawab dalam hal pendidikan?dan masih banyak lagi pertanyaan yang akan kita jawab dalam kajian ini.
Guru (:dulu) adalah sebuah profesi yang sangat mulia bila ditinjau dari aspek filosofis.,karena seorang guru senangtiasa bercita-cita untuk mencerdaskan semua orang tanpa pandang bulu,selama dia manusia dan mau belajar,sampai muridnya menjadi orang yang terpandang ditengah-tengah masyarakat,makanya tidak salah ketika seorang guru dijuluki ‘pejuang tanpa tanda jasa’ (uemar bakri),Namun seorang guru tidak pernah memikirkan dirinya apakah dia pernah dipandang oleh masyarakat,realitas yang terjadi, guru justru ditempatkan pada posisi yang paling bersalah ketika proses pendidikan mengalami puncak kegagalan (kambing hitam),dan tentu hal ini merupakan sebuah bentuk ketidakadilan dalam masyarakat,belum lagi ketika di hubungkan dengan rendahnya mutu pendidikan maka dianggap bahwa gurulah yang penyebab utamanya.Walaupun usaha seorang guru telah maksimal dalam memberikan pendidikan,bimbingan dan pengajaran serta pembinaan terhadap siswanya.Pada sisi yang lain seorang guru juga harus senangtiasa meningkatkan peran dan kompetensinya,karena proses belajar mengajar dan hasil belajar siswa banyak bertumpu dan ditentukan oleh guru.Guru yang memiliki kompentensi yang baik akan lebih mampu menciptakan suasana belajar yang lebih efektif dan kondusif serta mempunyai kemampuan untuk mengelolah kelas dengan bagus karena menggunakan pendekatan pembelajaran yang lebih kreatif sehingga para siswa lebih aktif dalam mengikuti pembelajaran karena antara guru dan murid sama-sama jadi subjek dalam mengkaji ilmu pengetahuan sebagai objeknya.Pada konteks ini ada bebrapa peran guru yang harus dipahami yakni seorang guru harus mampu menjadi Demonstrator,Guru sebagai Learning manager,guru sebagi mediator dan fasilitator,Guru sebagai pemberi informasi (informatory),Guru sebagai organisator,guru sebagai Motivator,guru sebagai pengarah(disrector),Guru sebagai transmitter,Guru sebagai actor,Guru sebagai emansipator,Guru sebagai evaluator,dan guru sebagai Administrator,serta harus meguasai ilmu psychology.
Kedua :”Pemerintah”,
Pada aspek kesejatraan,Dimana posisi pemerintah dalam hal peningkatan mutu pedidikan?,apakah ada kaitan antara gaji guru terhadap kualitas out put peserta didik?.Sebelum masa reformasi, profesi guru amatlah terkucilkan bahkan sebagian orang yang menggelutinya hanya menjadikan profesi ini sebagai pelarian saja(supaya tidak nganggur),dengan kata lain profesi ini bukan sebuah pilihan yang menjanjikan,sehingga berefek pada kurangnya kualitas out put yang dihasilkan oleh dunia pendidikan kita,karena disebabkan tidak adanya totalitas guru dalam proses pembelajaran serta bimbingan kepada peserta didiknya,selain itu desebabkan karena kurannya perhatian pemerintah terhadap kesejateraan para guru,fakta ini dapat kita lihat dalam masyarakat pada masa orde baru,apabila seorang guru yang ditanya tentang profesiya,maka akan merasa malu bahkan sedikit risih untuk mengakuinya.Hal ini juga terlihat pada setiap peserta didik atau anak-anak kita dulu,apabila ditanya tentang cita-cita mereka hampir tidak ada seorang anak pun yang menjawab mau jadi guru,tapi mereka cenderung memilih sejumlah profesi yang lebih menjanjikan dari segi kesejatraannya atau ekonominya,seperti dokter,PNS nonguru,pilot,akuntan,hakim,jaksa,tentara,polisi dll.Namun seiring dengan perubahan yang terjadi,setelah reformasi bergulir,dibawah kepemimpinan bapak Susilo Bambang Yudhoyono Fakta itu berubah,ketika program pemerintah yang disetujui oleh Dewan perwakilan rakyat memprogramkan kenaikan gaji guru hingga 20 % dari APBN.Ditambah lagi dengan adanya kebijakan yang baru dari presiden tentang “Sertifikasi Guru”.Tiba-tiba profesi seorang guru menjadi idola ditengah-tengah Masyarakat sekaligus menaikkan setingkat posisi guru dalam tangga strata sosial dalam masyarakat(Dari segi Materi),dan sangat banyak orang tua yang mendaftarkan anak mereka untuk melanjutkan jenjang pendidikan ke perguruan tinggi yang berbasis kependidikan atau keguruan.Bahkan banyak membuat kalangan PNS non guru iri atas banyaknya tunjangan profesi yang diberikan kepada guru.Meskipun gaji guru telah dinaikan saat ini namun realitas yang terjadi masih sering terjadi kecurangan pada tahap implementasinya karena masing seringnya kita temukan pemotongan-pemotongan atau istilah kerennya ‘penyunatan’pada gaji guru sehingga ini masih menjadi penghalang untuk mensejatrakan guru.Beberapa dari hasil penelitian membuktikan bahwa sangat erat kaitannya antara mekanisme pembayaran guru dengan hasil pencapaian atau prestasi siswa.
Pada aspek Sistem pendidikan, Sistem pendidikan kita harus kembali kita luruskan sehingga lebih mengarah pada pencapaian tujuan system pendidikan nasional yakni mencerdaskan kehidupan bangsa,secara subtansial “memanusiakan manusia”.Apakah tujuan pendidikan nasioanal telah tercapai?,Berapa jumlah anak yang haknya direnggut untuk dapat melanjutkan sekolah tapi tidak punya biaya?Salah satu indicator yang dapat kita lihat adalah berapa besar peningkatan kesejetraan rakyat pertahun?,Berapa persentase penurunan jumlah masyarakat miskin di Negara kita tiap tahunnya?,Karena logika yang harus kita gunakan adalah harus berbanding lurus antara persentase capaian tujuan pendidikan nasional dengan tingkat kesejatraan rakyat(keadilan ekonomi dan keadilan social).yang sangat menggelitik adalah indikator yang digunakan untuk Mengukur kualitas out put dalam system pendidikan kita yang dikenal dengan pesta tahunan atau bahasa kerennya Ujian Akhir Nasional (UAN) syarat akan kecurangan.Memijam kata nasrum “sungguh ironis sekaligus meprihatinkan cara berpikir kita,kalau hanya beorientasi pada hasil kelulusan semata(result oriented)tanpa memperhatikan bagaimana upaya dan proses dari pencapaian hasil tersebut (proses oriented).Pesta akbar yang dinamakan UAN ini tiap tahun digelar pada semua tingkatan dalam ruang lingkup pendidikan mulai dari sekolah Dasar hingga sekolah tingkat menengah,yang kemudian dijadikan indikator keberhasilan dalam dunia pendidikan kita,namum ironisnya pada prakteknya Pelaksanaan dari UAN ini kerap mengalami kecurangan,dan kadang dijadikan strategi untuk mendongkrak keberhasilan pemerintah daerah dalam bidang pendidikan,karena pemerintah takut dianggap gagal maka terbangunlah kesepahaman antara Pemda,Dinas Pendidikan dan pihak sekolah (Rayon) untuk memanipulasi system pelaksanaan ujian ini menjadi proyek besar yang mengarah pada suatu bentuk kerjasama yang sangat apik,dan telah menjadi suatu rahasia umum bahwa tiap tahunnya kecurangan ini kerap terjadi,meskipun telah dibentuk tim independen untuk memantau pelaksanaan UAN ini namun masih juga terjadi hal-hal yang sangat tidak mendidik,dan dapat dikatakan bahwa ini adalah suatu bentuk kejahatan secara sistematis bahkan mengarah kepada proses pembodohan bagi diri kita,masyarakat dan negeri ini.Bahkan Pada pelaksanaan di level sekolah tim sukses UAN kerap dibentuk dan dikelolah secara sistematis oleh tiap-tiap Rayon dan sub Rayon,tentu kita sangat sedih melihat fenomena karena ini bukan suatu usaha untuk memajukan pendidikan kita,tapi justru akan semakin merusak dan tujuan pendidikan Nasional tidak akan pernah terwujud.Ketika sistem ini terus berlanjut maka out put dari usaha kita dalam meningkatkan mutu dan kualitas pendidikan mustahil kita capai,lucunya lagi palaku-pelaku kebobrokan system ini dilakukan oleh para guru atas instruksi pimpinan, yang seogyanya menjadi lokomotif utama dalam peningkatan mutu pendidikan malah larut dalam nostalgia tim sukses pelaksanaan UAN demi menjaga nama baik sekolah dan daerah secara umum,dan yang tak kalah sedihnya kecurangan ini terjadi bukan hanya di sekolah – sekolah kecil,tapi dilakukan juga oleh sekolah-sekolah yang katanya sekolah standar nasional (SSN),bahkan yang lebih parah lagi ada juga sekolah-sekolah yang katanya berstandar Internasional (SBI) atau bahasa kerennya sekolah Unggulan.Efek dari proses ini,sering terdengar dari mulut para siswa kelas 1 dan 2 saat melihat realitas UAN yang diikuti oleh kakak kelas mereka, “buat apa kita belajar toh’ saat ujian Akhir kita akan di bagikan jawaban oleh guru,guru kita kan bae-bae ji’,ini kemudian menjadi bahan diskusi bagi teman-teman guru yang masih berpikir jangka panjang untuk dunia pendidikan kita,yang dalam diskusinya kadang ada ocehan “Untuk apa kita menyusun program pengajaran yang bagus serta menggunakan methode pengajaran yang menarik toh saat UAN anak-anak kita akan diberikan jawaban”,lebih ekstrim lagi kalau kita katakan”untuk apa kita mengajar siswa”,kadang yang dijadikn alasan oleh sekolah adalah tingginya angka standar kelulusan yang ditentukan oleh pihak kementrian pendidikan tingkat pusat yaitu 5,5 dan demi angka inilah yang harus diperjungkan oleh tiap sekolah demi menjaga nama baik sekolahnya atau kepala sekolahnya, karena kalau banyak siswanya yang tidak lulus maka bisa saja berimplikasi pada pemecatan (mutasi) bagi kepala sekolah yang bersangkutan oleh bapak bupati atau walikota melalui dinas pendidikan .Secara logis ketika hal ini yang dijadikan indikator maka kita tidak akan pernah menciptakan sumber daya manusia yang kompetitif dan berkarakter,justru yang tercipta adalah SDM yang manja dan tidak mampu bersaing dalam dunia pendidikan karena tidak terbagun karakter yang jelas karena melalui suatu proses yang semu,kalau diibaratkan sekolah sebagai lembaga pendidikan hanya seperti fatamorgana yang Nampak dari kejauhan bahwa ada gedung-gedung sekolah yang megah, namun setelah kita mencermati ternyata hanya simbol-simbol pendidikan saja,tidak ada proses yang subtansial berlansung di dalamnnya,sehingga apa yang menjadi inti dari pendidikan kita yaitu membentuk manusia seutuhnya atau memanusiakan manusi’hanya tinggal mimpi belaka,yang terjadi malah proses De humanisasi (tidak memanusiakan manusia).Padahal bentuk evaluasi akhir diskolah dapat saja dilakukan oleh pihak sekolah seperti UAS karena menurut logika penulis guru yang ada di sekolah masing-masing lah yang mengetahui apa yang diajarkan kepada siswa dan bagaimana mengevaluasinya,bukan dari pihak kementrian pendidikan yang mendesign suatu proyek besar dan berusaha untuk membangun pola keseragaman pada semua daerah sementara proses tiap daerah berbeda dengan daerah yang lain,yang bagi kami ini adalah suatu bentuk ketidakadilan atau memaksakan sesuatu supaya menjadi seragam walaupun pada dasar sangat jauh berbeda,baik dari segi informasi maupun infrastruktur pendidikan antara kota dengan daerah terpencil,justru infrastruktur pendidikan inilah yang seharusnya dipaksakan sama antara daerah terpencil dengan daerah perkotaan yang dipahami sebagai konsep pemerataan pembangunan bukan penyeragaman soal UAN.

Ketiga : “Masyarakat “,
Secara umum masyarakat sangat berperan dalam peningkatan mutu pendidikan,ini dapat kita lihat dalam undang-undang Sisdiknas Nomor 20 tahun 2003,pasal 54,berbunyi :
1).Peran serta masyarakat dalam pendidikan meliputi peran serta perorangan,kelompok,organisasi profesi,pengusaha,dan organisasi kemasyarakatan,dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu pelayanan pendidikan,2).Masyarakat dapat berperan serta sebagai sumber,pelaksana dan pengguna hasil pendidikan,3).Ketentuan mengenai peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2)diatur dalam peraturan pemerintah. Selain masyarakat secara umum,ada beberapa pihak yang bertanggungjawab terhadap peningkatan mutu pendidikan yakni,Dewan pendidikan,dan komite Sekolah,serta pihak yang memegang kunci khusus adalah pihak keluarga siswa atau orang tua murid,melihat persentase waktu dan kesempatan untuk mendidik seorang anak antara guru dengan orang tua tentu lebih banyak waktu yang dimiliki oleh pihak keluarga,tapi realitas yang terjadi di tengah masyarakat kita telah terjadi kesalahan persepsi,masyarakat mengaggap bahwa setelah memasukkan anak-anak mereka ke sekolah gurulah satu-satunya pihak yang bertanggungjawab atas pendidikan anak mereka,ini terbukti dari kurangnya kontrol orang tua terhadap waktu belajar anak-anak mereka di rumah,bahkan dari beberapa fakta yang sering terjadi ada orang tua yang tidak tahu anak mereka sudah kelas berapa dan jurusan yang mereka ambil di sekolah.Hal inilah yang harus diluruskan,sebagai orang tua kita harus punya waktu khusus untuk memantau perkembangan anak kita khususnya tentang pendidikan mereka,Persepsi ini mulai muncul ketika pemerintah mengeluarkan program dana BOS dan program pendidikan gratis,saat itu masyarakat tidak punya urusan lagi dengan dunia sekolah karena mereka menggap bahwa urusan sekolah anak saya adalah urusan guru,beda dengan kondisi saat siswa masih di babankan pembayaran BP3,saat itu perhatian orang tua akan pendidikan anak mereka begitu tinggi,apalagi pada saat pembayarannya menunggak selama 2 bulan,orang tua justru meluangkan waktunya ke sekolah untuk membuat kesepakatan dengan pihak sekolah mengenai pembayaran iuran anak mereka,hal ini terjadi karena adanya efek ekonomi yang membebani orang tua saat itu,karena kalau anak saya malas ‘maka pembayaran mereka akan rugi,jadi pada posisi yang demikian orang tua lah pihak yang paling di rugikan,sehingga masih ada interfensi mereka terhadap pendidikan anak saat itu,inilah yang mebedaakan dengan konteks saat ini terkhusus pada siswa-siswa SD dan SMP yang telah tebebas dari pembayaran sekolah sehingga efek rugi secara ekonomi tidak dirasakan lagi oleh pihak orang tua,justru fakta yang terjadi adalah orang tua sangat geram ketika anaknya meminta uang untuk membeli buku dan media pembelajaran mereka yang notabene dapat meningkatkan pengetahuan dan kreatifitas anak-anaknya,”kenapa lagi ada uang buku” katanya pendidikan gratis”Gurumu ji lagi yang berbisnis itu!”,kembali lagi guru menjadi pihak yang terdakwa.Sementara itu pada pada fakta yang lain ketika anak-anak mereka minta dibelikan handphone (hp) atau bahkan sepeda motor dengan serta merta orang tua lansung mengabulkan,padahal orang tua tidak menyadari bahwa kedua benda tersebut dapat merusak anak-anak mereka,dengan handphone mereka bebas berkomunikasi dengan siapa saja walaupun belum saling mengenal apalagi banyak diantara siswa yang mempunyai handphone yang memiliki fasilitas internet yang apabila tidak terkontrol anak-anak dapat saja memanfaatkannya untuk mengakses situs-situs porno,jadi dengan benda tersebut beban orang tua semakin bertambah apalagi dengan sepeda motor banyak siswa yang tidak sampai kesekolah malah keluyuran bersama teman-teman mereka di jalanan,fenomena kendaraan bermotor bagi siswa ternyata bukan solusi yang efektif untuk mendukung kelancaran pendidikan anak,justru malah menghambat karena pada kenyataanya mereka yang berkendara sepeda motor banyak yang terlambat datang di sekolah di banding yang mengunakan kendaraan umum khusunya pada konteks palopo yang tidak terlalu padat arus transportasinya.Jadi sehubungan dengan hal ini maka sepatutnya di bangun kerjasama dan komunikasi yang efektif antara pihak orang tua dengan pihak sekolah tentang perkembangan anaknya di sekolah,baik yang berhubungan dengan ke aktifan anak dalam mengikuti semua proses di sekolah maupun tentang kemajuan akademik mereka, dan kontrol terhadap sang anak ini secara fsikology terbangun dalam diri mereka karena mereka merasa di perhatikan dan diawasi oleh orang tuanya.
Dengan senergitas dari beberapa komponen atau pihak-pihak yang betanggungjawab diatas maka insyaAllah kita dapat meningkatkan mutu dan kualitas pendidikan kita.

1 komentar: