Mengenai Saya

Foto saya
palopo, Makassar/sulsel, Indonesia
Biasa jie...

Sabtu, 29 Januari 2011

PEMBELAJARAN: REDEFINISI BUTA HURUF

Oleh: Andrias Harefa*
Belajar selalu merupakan pemberontakan.Tiap bit penemuan kebenaran baru bersifat revolusioner terhadap apa yang sebelumnya dipercayai. [Margaret Lee Runbeck]
Dr. Ahmad Syafii Maarif, Ketua PP Muhammadiyah, dalam berbagai kesempatan menyatakan kepihatinannya terhadap hasil-hasil pendidikan sekolah formal di negeri kita ini. Namun, untuk tidak terjebak pada pesimisme, ia juga mencoba mengingatkan bahwa secara kuantitatif sudah ada kemajuan. Setidaknya dikatakan bahwa pada masa awal Indonesia merdeka, jumlah penduduk yang buta huruf mencapai angka 90-an persen. Sementara dewasa ini, penduduk yang masih belum bisa membaca dan menulis berkisar antara 10-15 persen. Jadi, sambil terus berusaha memperkecil angka-angka kuantitatif itu, semua pihak seharusnya ikut aktif dalam mengusahakan peningkatan kualitatif atau mutu dunia persekolahan.
Amat sangat jelas bahwa upaya meningkatan mutu dunia persekolahan sudah barang tentu memerlukan biaya yang tidak kecil. Masalahnya, sepanjang sejarah republik ini berdiri, anggaran pendidikan yang dicantumkan di APBN tidak pernah melampaui angka 7 persenan atau sekitar 1 persen dari pendapatan nasional (idealnya 20-an persen atau sekitar 3-4 persen dari pendapatan nasional). Walau kita sering mendengar bagaimana politisi di DPR dan pejabat-pejabat pemerintahan mengatakan bahwa pendidikan itu penting, tetapi ketika sampai pada soal anggaran pendidikan, makna "penting" itu menjadi begitu tidak jelas, kecuali sebagai basa basi politik. Ada kesan bahwa pendidikan dianggap penting, tetapi bukan faktor yang menentukan masa depan bangsa ini. Atau kita masih selalu terjebak dalam perspektif jangka pendek dan gagal mengembangkan perspektif jangka panjang.
Di luar institusi politik, kesadaran akan pentingnya pendidikan dan pelatihan juga belum memadai. Dalam industri perbankan, misalnya, anggaran yang diwajibkan untuk dialokasikan ke bidang pendidikan dan pelatihan baru 5 persen dari total anggaran personalia, yang tentu saja jauh lebih kecil di bandingkan total pendapatan perusahaan (bank terkait). Andai dari total pendapatan perusahaan anggaran personalia mencapai angka 30-an persen, misalnya, maka 5 persen dari jumlah itu setara dengan 1,5 persen dari total pendapatan perusahaan. Itu pun sudah merupakan angka yang sangat optimis. Dalam industri barang yang bukan jasa, angka-angkanya akan nampak "mengerikan". Coba saja tanyakan berapa anggaran pendidikan dan pelatihan untuk buruh-buruh pabrik di berbagai kawasan industri. Boleh jadi mendekati angka nol besar.
Jadi, dalam soal anggaran pendidikan, baik wakil-wakil rakyat di DPR, pejabat di lembaga eksekutif, maupun para profesional dunia bisnis yang duduk di kursi empuk manajemen puncak perusahaan, semuanya masih gombal semua.
Disamping soal anggaran, kita masih harus menghadapi masalah rendahnya profesionalitas para praktisi di bidang pembelajaran dan pelatihan. Mencari pengajar-pengajar yang bermutu ibarat mencari jarum di tengah jerami. Kita juga sangat sulit mendapatkan pustakawan-pustakawati yang handal dalam mengelola perpustakaan agar dapat dijadikan pusat-pusat pembelajaran, baik bagi dunai persekolahan maupun bagi masyarakat umum. Tidak banyak praktisi di bidang pembelajaran yang berkemampuan untuk dapat merancang kurikulum atau program pembelajaran yang relevan dengan situasi dan konteks di sekitarnya.
Belum lagi soal perbaikan dalam hal metodologi mengajar yang umumnya sudah sangat kadaluarsa. Ibarat makanan yang jelas sudah lewat masa konsumsinya (expired), yang terakhir ini mengakibatkan kaum muda teracuni potensi kreativitasnya dan bukannya berkembang menjadi manusia-manusia kreatif. Dan itu sudah berlangusng sekian puluh tahun (jangan heran kalau sekarang kita melihat lahirnya generasi gerombolan yang anonim, selalu mencari jalan pintas, suka mengandalkan kekerasan fisik, dan tidak menunjukkan tanda-tanda kedewasaan dan kemandirian).
Dampak berikutnya dari masalah anggaran dan personalia yang berkualitas rendah itu adalah amburadul-nya manajemen pendidikan pada tingkat pusat sampai ke daerah, bahkan sampai ke sekolah dan perguruan tinggi. Sudah berapa banyak badan dibentuk, tapi tak jelas juga apa yang sesungguhnya bisa diharapkan dari itu semua. Tak jelas bagi masyarakat apa saja yang telah dilakukan oleh Badan Pertimbangan Pendidikan Nasional, Komisi Nasional Pendidikan, dan Komite Reformasi Pendidikan.
Walau pun kita mengetahui bahwa ada begitu banyak pakar pendidikan yang dilibatkan dalam lembaga-lembaga bentukan Departemen Pendidikan Nasional itu, namun tidak pernah jelas apakah suara mereka benar-benar didengar dan rekomendasinya di laksanakan sebagaimana seharusnya. Atau itu semua hanyalah semacam strategi public relations untuk memberi kesan (image) kepada masyarakat bahwa pemerintah peduli, padahal sebenarnya tidak.
Tanpa harus terjebak dalam pesimisme yang destruktif, tulisan ini hanya menggambarkan dan mengingatkan kembali peta permasalahan sebagaimana adanya (as it is). Sebab untuk dapat sungguh-sungguh memecahkan masalah dunia pendidikan, kita pertama-tama perlu bersepakat bahwa sejauh ini kita telah gagal hampir dalam semua hal (utamanya dalam soal anggaran, kualitas praktisi pendidikan, dan manajemen pendidikan itu sendiri). Ini harus kita akui terus terang.
Berbagai indikator yang bersifat mikro maupun makro, seperti pernah disampaikan oleh Prof. Dr. Ki Supriyoko dalam salah satu tulisannya di harian Kompas, menunjukkan kegagalan kita. Indikator mikro mencakup rendahnya prestasi IPA siswa kita (versi TIMSS), rendahnya prestasi matematika (versi IMO), rendahnya kemampuan membaca anak (versi World Bank), dan rendahnya kualitas perguruan tinggi di Indonesia (versi Asia Week). Sementara indikator makro menyangkut soal rendahnya kualitas manusia Indonesia (versi UNDP), daya saing ekonomi yang memprihatinkan (versi IMD), rendahnya angka harapan hidup (versi WHO), dan sebagainya. Jadi, perlu bukti apa lagi?
Bila kita sudah sepakat mengakui kegagalan kita, maka barulah dapat diharapkan kita merencanakan langkah-langkah perubahan secara konstruktif dengan perspektif jangka panjang. Dan itu adalah pertanda utama bahwa sebagai bangsa --terutama elite politik-- kita benar-benar belajar. Bukankah hakikat belajar itu sendiri berarti berubah ke arah yang lebih baik?
Sebagai salah satu arahan ke masa depan, marilah kita bersepakat untuk mengeliminasi jumlah penduduk yang buta huruf. Akan tetapi, pengertian "buta huruf" itu sendiri perlu kita redefinisikan ulang. Disamping mencakup pengertian kuantitatifnya, "buta huruf" juga harus diberi makna kualitatif. Dalam hal ini baik diingat bahwa futurolog sekaliber Alvin Toffler pernah mengatakan bahwa, "Mereka yang buta huruf (illiterate) di abad ke-21 bukanlah orang-orang yang tidak bisa membaca dan menulis, tetapi orang-orang yang tidak bisa belajar, melupakan ajaran-ajaran masa lalu yang tidak benar, dan kembali belajar (learn, unlearn, and relearn)". Pengertian ini dapat kita gunakan sebagai acuan awal. Selanjutnya, langkah-langkah revolusioner perlu dilakukan secara konsisten dengan menggunakan berbagai indikator mikro dan makro seperti yang telah disebutkan di atas.
Jadi, bila kita dapat mendorong pemerintah untuk meningkatkan anggaran pendidikan, menyampaikan program-program alternatif guna meningkatkan profesionalitas para praktisi di bidang pembelajaran, dan terus menerus memperbaiki masalah manajemen pendidikan dalam keluarga, manajemen pendidikan pada tingkat rukun tetangga dan rukun warga sampai kelurahan, lalu manajemen pendidikan berbasiskan sekolah, universitas, sampai ke dunia kerja, maka dalam 20-40 tahun ke depan kita masih boleh mengharapkan adanya perubahan yang signifikan dalam kehidupan bangsa dan negara ini secara keseluruhan. Karenanya, mari kita serukan bersama: Indonesia Belajarlah!
Apakah ajakan ini berlebihan?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar